Pengertian Penggelapan pajak
Penggelapan pajak adalah tindak
pidana karena merupakan rekayasa subyek (pelaku) dan obyek (transaksi) pajak
untuk memperoleh penghematan pajak secara melawan hukum (unlawfull), dan
penggelapan pajak boleh dikatakan merupakan virus yang melekat (inherent) pada
setiap system pajak yang berlaku di hampir setiap yurisdiksi. Begitupun
penggelapan pajak mempunyai resiko terdeteksi yang inherent pula, serta
mengundang sanksi pidana badan dan denda.
Peraturan Perundangan pada Penggelapan Pajak
Pasal 38: Perbuatan alpa dalam pidana pajak, Tidak menyampaikan SPT, Menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar (bukan untuk pertama kali), dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Kurungan maksimal satu tahun, atau Denda maksimal dua kali pajak yang terutang atau kurang dibayar.
Pasal 39 Ayat (1): Perbuatan sengaja :
• Tidak mendaftarkan diri;
• Menyalahgunakan NPWP/NPPKP;
• Tidak menyampaikan SPT;
• Menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap;
• Menolak untuk dilakukan pemeriksaan;
• Memperlihatkan pembukuan palsu/dipalsukan;
• Tidak menyelenggarakan/memperlihatkan/meminjamkan Pembukuan;
• Tidak menyimpan buku, catatan, dokumen cfm pasal 28 ayat (11) UU KUP;
• Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut,
Sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, dikenakan sanksi pidana Penjara minimal 6 bulan maksimal 6 Tahun dan Denda minimal 2 kali maksimal 4 kali jumlah pajak yang terutang/kurang dibayar
Pasal 39 ayat (2) : Pengulangan perbuatan Pidana; Ancaman Pidana sebagaimana dimaksud (Pasal 39 Ayat (1)) dilipatkan dua, Dengan syarat belum lewat satu tahun selesai menjalani pidana, melakukan lagi Tindak Pidana
Pasal 39 ayat (3) : Perbuatan Percobaan Pidana, Percobaan :
• Menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau NPPKP.
• Menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap.
(Dalam rangka mengajukan restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak), sanksi Pidana Penjara Minimal 6 Bulan Maksimal 2 Tahun dan Denda Minimal 2 Kali Maksimal 4 Kali jumlah restitusi atau kompensasi atau pengkreditan pajak.
Pasal 39A : Sengaja Menerbitkan dan/atau menggunakan Faktur pajak, bukti potput, dan /atau SSP yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau Menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP, sanksi pidana Penjara minimal 2 Tahun maksimal 6 Tahun Serta Denda Minimal 2 Kali Maksimal 6 Kali jumlah faktur pajak atau Potput atau SSP.
Pasal 41A : Tidak memberikan keterangan/bukti, Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, terkait dengan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. (Pasal 35 ayat (1) UU KUP).
Setiap orang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Pasal 41B : menghalangi/mempersulit penyidikan, Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
Pasal 41C : Tidak memberikan data/informasi :
• Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak (Pasal 35 ayat (1) UU KUP) jika setiap orang dengan sengaja tidak memenuhinya, diancam pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.
• Setiap orang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban Pasal 35A ayat (1), pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00
• Setiap orang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak, pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda maks. Rp800.000.000,00
• Setiap orang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00.
Pasal 43: Penyertaan Perbuatan Pidana,
Ketentuan sebagaimana pasal 39 dan 39A berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, menganjurkan, membantu melakukan tindak pidana
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pasal 40 : Daluarsa: Tindak Pidana di Bidang Perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau sepuluh tahun sejak:
• saat terutangnya pajak,
• berakhirnya Masa Pajak,
• berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau
• berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan
Pasal 34: Rahasia Jabatan:
Pejabat dan Tenaga Ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh WP dalam rangka jabatan atau pekerjaannya.
Kasus dan Penyelesaiannya
PT Asian Agri Group (AAG) adalah
salah satu induk usaha terbesar kedua di Grup Raja Garuda Mas, perusahaan milik
Sukanto Tanoto. Menurut majalah Forbes, pada tahun 2006 Tanoto adalah keluarga
paling kaya di Indonesia, dengan kekayaan mencapai US$ 2,8 miliar (sekitar Rp
25,5 triliun). Terungkapnya dugaan penggelapan pajak oleh PT AAG, bermula dari
aksi Vincentius Amin Sutanto (Vincent) membobol brankas PT AAG di Bank Fortis
Singapura senilai US$ 3,1 juta pada tanggal 13 November 2006. Vincent saat itu
menjabat sebagai group financial controller di PT AAG – yang mengetahui
seluk-beluk keuangannya. Perbuatan Vincent ini terendus oleh perusahaan dan
dilaporkan ke Polda Metro Jaya. Vincent kabur ke Singapura sambil membawa
sejumlah dokumen penting perusahaan tersebut. Dalam pelariannya inilah terjadi
jalinan komunikasi antara Vincent dan wartawan Tempo.
Pada tanggal 1 Desember 2006 VAS
sengaja datang ke KPK untuk membeberkan permasalahan keuangan PT AAG yang
dilengkapi dengan sejumlah dokumen keuangan dan data digital.Salah satu dokumen
tersebut adalah dokumen yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under
Pricing of Export Sales)”, disusun pada sekitar 2002. Dokumen ini memuat semua
persiapan transfer pricing PT AAG secara terperinci. Modusnya dilakukan dengan
cara menjual produk minyak sawit mentah (Crude Palm Oil) keluaran PT AAG ke
perusahaan afiliasi di luar negeri dengan harga di bawah harga pasar – untuk
kemudian dijual kembali ke pembeli riil dengan harga tinggi. Dengan begitu,
beban pajak di dalam negeri bisa ditekan. Selain itu, rupanya
perusahaan-perusahaan luar negeri yang menjadi rekanan PT AA sebagian adalah
perusahaan fiktif. Pembeberan Vincent ini kemudian ditindaklanjuti oleh KPK
dengan menyerahkan permasalahan tersebut ke Direktorat Pajak – karena memang
permasalahan PT AAG tersebut terkait erat dengan perpajakan. Direktur Jendral
Pajak, Darmin Nasution, kemudian membentuk tim khusus yang terdiri atas
pemeriksa, penyidik dan intelijen. Tim ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan
dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kejaksaan Agung. Tim khusus
tersebut melakukan serangkaian penyelidikan – termasuk penggeledahan terhadap
kantor PT AAG, baik yang di Jakarta maupun di Medan.
Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut (14 perusahaan diperiksa), ditemukan
terjadinya penggelapan pajak yang berupa penggelapan pajak penghasilan (PPh)
dan pajak pertambahan nilai (PPN). Selain itu juga "bahwa dalam tahun
pajak 2002-2005, terdapat Rp 2,62 triliun penyimpangan pencatatan transaksi.
Yang berupa menggelembungkan biaya perusahaan hingga Rp 1,5 triliun.
mendongkrak kerugian transaksi ekspor Rp 232 miliar. mengecilkan hasil
penjualan Rp 889 miliar. Lewat modus ini, Asian Agri diduga telah menggelapkan
pajak penghasilan untuk badan usaha senilai total Rp 2,6 triliun. Perhitungan
SPT Asian Agri yang digelapkan berasal dari SPT periode 2002-2005. Hitungan
terakhir menyebutkan penggelapan pajak itu diduga berpotensi merugikan keuangan
negara hingga Rp 1,3 triliun.
Dari rangkaian investigasi dan
penyelidikan, pada bulan Desember 2007 telah ditetapkan 8 orang tersangka, yang
masing-masing berinisial ST, WT, LA, TBK, AN, EL, LBH, dan SL. Kedelapan orang
tersangka tersebut merupakan pengurus, direktur dan penanggung jawab
perusahaan. Di samping itu, pihak Depertemen Hukum dan HAM juga telah mencekal
8 orang tersangka tersebut. Terungkapnya kasus penggelapan pajak oleh PT AAG
tidak terlepas dari pemberitaan investigatif Tempo – baik koran maupun majalah
– dan pengungkapan dari Vincent. Dalam konteks pengungkapan suatu perkara,
apalagi perkara tersebut tergolong perkara kakap, mustinya dua pihak ini
mendapat perlindungan sebagai whistle blower. Kenyataannya, dua pihak ini
di-blaming. Alih-alih memberikan perlindungan, aparat penegak hukum malah
mencoba mempidanakan tindakan para whistle blower ini. Vincent didakwa dengan
pasal-pasal tentang pencucian uang – karena memang dia, bersama rekannya,
sempat mencoba mencairkan uang PT AAG.
Solusi penyelesaian Kasus Asian
Agri: Di Dalam atau Luar Pegadilan?
PT Asian Agri Group (AAG) diduga
telah melakukan penggelapan pajak (tax evasion)selama beberapa tahun terakhir
sehingga menimbulkan kerugian negara senilai trilyunan rupiah. peraturan perundangan mengancam pelaku tindak
pidana perpajakan dengan sanksi pidana penjara dan denda yang cukup berat, akan
tetapi nyatanya masih ada celah hukum untuk meloloskan para penggelap pajak
dari ketok palu hakim di pengadilan. Pasal 44B UU No.28/2007 membuka peluang
out of court settlement bagi tindak pidana di bidang perpajakan. Ketentuan itu
mengatur bahwa atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan
penyidikan. Dengan demikian, kasus berakhir (case closed) jika wajib pajak yang
telah melakukan kejahatan itu telah melunasi beban pajak beserta sanksi
administratif berupa denda. Jadi, penyelesaian kasus tindak pidana perpajakan
oleh Asian Agri Group meski masuk kategori “Perlawanan Aktif terhadap Pajak”
sekalipun – tetap dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan. Dengan
demikian, harapan kita bergantung pada Menteri Keuangan dan Jaksa Agung sebagai
pihak yang paling menentukan dalam proses penyelesaian tindak pidana perpajakan
ini.
Tidak Hanya Urusan Pajak
Menilik modus operandi dalam kasus
ini, penggelapan pajak bukanlah satu-satunya perbuatan pidana yang bisa
didakwakan kepada Asian Agri Group. Penyidikan terhadap Asian Agri Group juga
dapat dikembangkan pada tindak pidana pencucian uang (money laundering).Dalam
hal itu, penggelapan pajak oleh Asian Agri Group perlu dilihat sebagai
kejahatan asal (predict crime) dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana
lazimnya, kejahatan pencucian uang tidak berdiri sendiri dan terkait dengan
kejahatan lain. Kegiatan pencucian uang adalah cara untuk menghapuskan bukti
dan menyamarkan asal-usul keberadaan uang dari kejahatan yang sebelumnya. Dalam
kasus ini, penggelapan pajak dapat menjadi salah satu mata rantai dari
kejahatan pencucian uang.
Asian Agri Group mengecilkan laba
perusahaan dalam negeri agar terhindar dari beban pajak yang semestinya dengan
cara mengalirkan labanya ke luar negeri (Mauritius, Hongkong Macao, dan British
Virgin Island). Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kelompok usaha Asian Agri
Group kepada Ditjen Pajak telah direkayasa sehingga kondisinya seolah merugi
(Lihat pernyataan Darmin Nasution, Direktur Jenderal Pajak, mengenai rekayasa
SPT itu). Modus semacam itu memang biasa dilakukan dalam kejahatan pencucian
uang, sebagaimana juga diungkapkan oleh Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Hussein mengenai profile, karakteristik, dan
pola transaksi keuangan yang tidak beres sebagai indikasi kuat adanya money
laundering (Metro TV, 8/1/2008).
kasus Asian Agri adalah cermin
sempurna bagi penegak hukum kita.Dari situ tergambar, sebagian dari mereka
tidak sungguh-sungguh menegakkan keadilan, malah berusaha menyiasati hukum
dengan segala cara. Tujuannya boleh jadi buat melindungi orang kaya yang diduga
melakukan kejahatan. Dan kalau perlu dilakukan dengan cara mengorbankan orang
yang lemah.Persepsi itu muncul setelah petugas Kepolisian Daerah Metro Jaya
bersentuhan dengan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri, salah satu
perusahaan milik taipan superkaya, Sukanto Tanoto. Kejahatan ini diperkirakan
merugikan negara Rp 786 miliar. Polisi amat bersemangat mengusut Vincentius
Amin Sutanto, bekas pengontrol keuangan perusahaan itu, hingga akhirnya dihukum
11 tahun penjara pada Agustus lalu. Padahal justru dialah yang membongkar dugaan
penggelapan pajak dan money laundering oleh Asian Agri. Pemerintah mestinya berterima
kasih kepada mereka.
Jika kasus ini segera ditangani dengan tuntas,
amat besar uang negara yang bisa diselamatkan.Upaya ini juga akan mencegah
pengusaha lain melakukan penyelewengan serupa, sehingga tujuan pemerintah
mendongkrak penerimaan pajak tercapai.Tidak sewajarnya polisi mengkhianati
program pemerintah. Mereka seharusnya segera mengusut pula dugaan pencucian
uang yang dilakukan Asian Agri. Perusahaan ini diduga menyembunyikan hasil
"penghematan" pajak ke berbagai bank di luar negeri. Inilah yang
mestinya diprioritaskan dibanding membidik orang yang justru membantu membongkar
dugaan penggelapan pajak.