Awal Pemerintahan Reformasi hingga Pemerintahan Kabinet SBY
Setelah berakhirnya masa jabatan
Presiden Soeharto maka pemerintahan diserahkan kepada Wakil Presiden pada masa
itu yaitu B.J Habibie. Pada tahun 1999 B.J habibie digantikan oleh Kyai Haji
Abdurrahman Wahid yang biasa disapa GusDur. Awal pemerintahan reformasi yang
dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan
investor, termasuk insvestor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan
dan kesungguhan Gusdur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan
menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde
Baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan Tragedi Tri Sakti dan
Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah distegrasi dan
lainya.
Dalam hal bidang ekonomi yang dibandingkan
tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai
menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak
terlalu besar, saat tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh
lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir 5%. Ketenangan masyarakat
setelah GusDur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama. GusDur mulai
menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapanan yang kontroversial yang
membingungkan pelaku-pelaku bisnis. GusDur cenderung Diktator dan praktik KKN
di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan
salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan GusDur
tidak berbeda dengan rezim orde baru) Sikap GusDur tersebut menimbulkan
perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada
GusDur lewat memorandum I dan II untuk diturunkan dari Jabatannya. Dengan
dikeluarkannya Memorandum II saat itu Gusdur terancam diturunkan dari
jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah GusDur turun, Megawati
menjadi Presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi
perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan GusDur.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Gus Dur terus terasa jika terlihat
dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga,
inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Tetapi pada era Megawati
memiliki kinerja ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan, paling tidak
dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan pada table 5, pada
tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya,
dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai
5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar
Dolar AS pada tahun 2001 menjadi 258 miliar Dolar AS tahun 2004.
demikian juga pendapatan perkapita meningkat persentase yang cukup besar dari
697 Dolar AS ke 1.191 Dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga
membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001, dan
terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan
(NP), yaitu saldo ekspor (X)-impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB),
sebagai persentase dari PDB, mengalami penurunan.
Pada tahun 2004 diadakan pemilu
secara langsung dan yang memperoleh suara terbanyak adalah Susilo Bambang
Yudhoyono. pada pemerintahan SBY, di bulan-bulan pertama pemerintahannya,
rakyat Indonesia, pelaku usaha luar, dan dalam negeri maupun Negara-negara
donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat
optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik
dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto
lengser. Bahkan kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%.
Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus
membaik dan factor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan
adanya gejolak harga minyak di Pasar Dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari
motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang, EU, dan
China, akan meningkat. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi
Indonesia digoncang oleh dua peristiwa yang tidak terduga sama sekali, yaitu
naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Tetapi kondisi perekonomian pada masa
pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi
Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca
krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Salah satu penyebab utama
kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang
berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Tingkat
pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif
lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata
pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%.
Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya
sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan.
Pemerintahan Reformasi Hingga Kabinet SBY (1999-2005)
Awal
pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan
kalangan pengusaha dan investor, termasuk insvestor asing menaruh pengharapan
besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gusdur untuk membangkitkan kembali
perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam
negeri warisan rezim Orde Baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan
Tragedi Tri Sakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah
distegrasi dan lainya.
Bidang ekonomi,
dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai
menunjukan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walaupun tidak
jauh dari 0%, dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh
lebih baik lagi, dengan laju pertumbahan hampir mencapai 5%. Akan tetapi,
masyarakat memilih presiden tidak berlangsung lama. Gusdur mulai menunjukan
sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan
pelaku-pelaku bisnis. Gusdur cenderung bersikap diktaktor dan praktet KKN di
lingkungannya semakin intensif, bukan hanya semakin berkurang yang merupakan
salah satu tujuan dari pada gerakan reformasi. Ini berarti bahwa rezim Gusdur,
walaupun Than reformasi di Era Demokrasi, tidak berbeda dengan rezim Orde Baru.
Sikap Gusdur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikeluarkanya peringatan resmi kepada
Gusdur lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II Gusdur
terancam diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Jika
usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bula Agustus 2001.
Hubungan
pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gus Dur dengan IMF juga tidak baik,
terutama masalah-masalah seperti Amandemen UU No 23 tahun 1999 mengenai Bank
Indonesia, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk
pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda
pelaksananya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda
pencairan bantuanya kepada pemerintahan Indonesia, padahal roda perekonomian
nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia
dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (Negara-negara donor), karena sudah
kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomian semakin buruk dan
defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak tidak mungkin mampu membayar
kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang.
Bahkan Bank Dunia sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesempartan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut
selama pemerintahan Gusdur menaikkan tingkat country risk Indonesia. Hal ini
ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF
membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk Investor Asing menjadi enggan melakukan
kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi
perekonomian nasional pada masa ini cenderung lebih buruk dari pada masa
pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga Pemeringkat Internasional Moody’s
Investor Service mengonfirmasikan bertambah buruknya resiko Negara Indonesia.
Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, tetapi karena
kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating lainnya, seperti
Standard dan Poors, menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke
negatif.
Banyak
orang menduga bahwa ekonomi Indonesia tahun 2002 akan mengalami pertumbuhan
jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Gusdur dan
kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk
menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip ’’once and poor
all’’. Pemerintah Gusdur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dengan
menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah Amandemen UU BI,
masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah
divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial
dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan
KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar
negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya ’sense of crisis’ terhadap kondisi
riil perekonomian Negara saat ini.
Fenomena
semakin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi.
Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000
hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dengan
perkataan lain, selama periode tersebut, IHSG merosot hingga lebih dari 300
poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan dari pada kegiatan
pembelian di dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan
semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap
prospek perekonomian Indonesia paling tidak untuk periode jangka pendek.
Indikator
kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis (masyarakat pada
umumnya) terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar Rupiah
terhadap Dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs Rupiah sekitar 7000, dan pada
tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan
Rupiah, yang menembus level Rp 10000 per Dolar. Untuk menahan penurunan lebih
lanjut, Bank Indonesia secara agrresif terus melakukan intervensi pasar dengan
melepas puluhan juta Dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun,
pada 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang
menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar Rupiah semakin merosot. Pada
bulan April 2001 sempat menyentuh Rp
12000 per Dolar AS. Inilah rekor kurs Rupiah terendah sejak Gus Dur terpilih
sebagai Presiden Republik Indonesia, berdampak negatif terhadap roda
perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa
Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik
jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena
dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih tergantung pada impor, baik
untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun
barang-barang konsumsi. Kedua, ULN Indonesia dalam nilai Dolar AS, baik dari
sector swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya
adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan
devisa yang pada dua minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar Dollar
AS menjadi 28,875 Dolar AS.
Setelah
Gus Dur turun, Megawati menjadi Presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan
Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada
masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai Rupiah meningkat cukup
signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi presiden melalui Sidang Istiimewa
(SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih
menjadi presiden.
Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Gus Dur terus terasa jika
terlihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku
bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bungan untuk
sertifikat bank Indonesia(SBI), misalnya, pada awal pemerintahan Megawati
mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 13%.
Bersamaan dengan itu tingakt suku bunga deposito perbankan juga ikut naik
menjadi sekitar 18%, sehingga pada saat itu menimbulkan kembali kekhawatiran
masyarakat dan pelaku bisnis bahwa bank-bank akan kembali melakukan bleeding.
Inflasi yang dihadapi kabinet gotong
royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan
pada awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal
pemerintahan Megawati atau periode Januari-Juli 2002 tingkat inflasi sudah
menjadi 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan atau year on year selama periode Juli
2000-Juli 2001 sudah mencapai 13, 5%. Perkembangan ini pada saat itu sangat
mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi pemerintah
menargetkan inflasi dalam tahun 2001 hanya 9,4%.
Era
Megawati memiliki kinerja ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan, paling
tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan pada table 5,
pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun
sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati
yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar Dolar AS pada tahun 2001 menjadi 258 miliar
Dolar AS tahun 2004. demikian juga pendapatan perkapita meningkat persentase
yang cukup besar dari 697 Dolar AS ke 1.191 Dolar AS selama periode Megawati.
Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3%
tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian,
neraca perdagangan (NP), yaitu saldo ekspor (X)-impor (M) barang, maupun
transaksi berjalan (TB), sebagai persentase dari PDB, mengalami penurunan.
Menginjak
pada pemerintahan SBY, di bulan-bulan pertama pemerintahannya, rakyat
Indonesia, pelaku usaha luar, dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta
lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis bahwa
kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan
pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Bahkan
kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Target ini dilandasi
oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus membaik dan
factor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya
gejolak harga minyak di Pasar Dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari
motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang, EU, dan
China, akan meningkat. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi
Indonesia digoncang oleh dua peristiwa yang tidak terduga sama sekali, yaitu
naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai
tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB
tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut (table menjadi tantangan berat
bagi presiden SBY karena jika tidak ditangani segera dan secaara baik, pengaruh
negatifnya akan sangat besar terhadap perekonomian nasional dan akhirnya juga
terhadap kehidupan masyarakat, khususnya kelompok miskin).
Kenaikan
harga BBM di pasar internasional dari 45 Dolar AS per barrel awal tahun 2005
menjadi 70 Dolar per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan
Indonesia, tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973 dan kedua awal
decade 1980-an. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia
juga impor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan
penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai
sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam
negeri (Kurtubi, 2005). Tingginya impor BBM Indonesia disebabkan oleh konsumen
minyak dalam negeri yang meningkat pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan
jumlah penduduk, perkembangan kegiiatan ekonomi dan peningkatan pendapatan
perkapita serta kapasitas kilang minyak di dalam negeri masih sangat terbatas.
Menurut Kurtubi (2005), tahun 2005 kekurangan kapasitas kilang Indonesia
sekitar 400.000 barrel per hari.[11]
Kenaikan
harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangaat berat terhadap keuangan
pemerintah (APBN). Akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan
yang sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM
di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan harga BBM yang besar untuk
industri terjadi sejak 1 Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2200 per
liter menjadi Rp 4750 per liter (naik 115%). Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan
harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2200 per liter menjadi Rp 5490 per
liter (naik 93%). Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintahn menaikkan lagi harga BBM
yang berkisar antara 50% hingga 80%. Diperkirakan hal ini akan sangat berdampak
negatif terhadap kegiatan ekonomi domestik, terutama pada periode jangka pendek
karena biaya produksi meningkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar