Kamis, 23 April 2015

Sejarah Pemerintahan Reformasi - Kabinet SBY


Awal Pemerintahan Reformasi hingga Pemerintahan Kabinet SBY

Setelah berakhirnya masa jabatan Presiden Soeharto maka pemerintahan diserahkan kepada Wakil Presiden pada masa itu yaitu B.J Habibie. Pada tahun 1999 B.J habibie digantikan oleh Kyai Haji Abdurrahman Wahid yang biasa disapa GusDur. Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk insvestor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gusdur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde Baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan Tragedi Tri Sakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah distegrasi dan lainya.

Dalam hal bidang ekonomi yang dibandingkan tahun sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walau tidak terlalu besar, saat tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi dengan laju pertumbuhan hampir 5%. Ketenangan masyarakat setelah GusDur terpilih menjadi presiden tidak berlangsung lama. GusDur mulai menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapanan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. GusDur cenderung Diktator dan praktik KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan daripada gerakan reformasi (yang berarti pemerintahan GusDur tidak berbeda dengan rezim orde baru) Sikap GusDur tersebut menimbulkan perseteruan dengan DPR yang klimaksnya DPR mengeluarkan peringatan resmi kepada GusDur lewat memorandum I dan II untuk diturunkan dari Jabatannya. Dengan dikeluarkannya Memorandum II saat itu Gusdur terancam diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Setelah GusDur turun, Megawati menjadi Presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan GusDur. Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Gus Dur terus terasa jika terlihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Tetapi pada era Megawati memiliki kinerja ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan pada table 5, pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar  Dolar AS pada tahun 2001 menjadi 258 miliar Dolar AS tahun 2004. demikian juga pendapatan perkapita meningkat persentase yang cukup besar dari 697 Dolar AS ke 1.191 Dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yaitu saldo ekspor (X)-impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebagai persentase dari PDB, mengalami penurunan.
Pada tahun 2004 diadakan pemilu secara langsung dan yang memperoleh suara terbanyak adalah Susilo Bambang Yudhoyono. pada pemerintahan SBY, di bulan-bulan pertama pemerintahannya, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar, dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Bahkan kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus membaik dan factor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di Pasar Dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang, EU, dan China, akan meningkat. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia digoncang oleh dua peristiwa yang tidak terduga sama sekali, yaitu naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Tetapi kondisi perekonomian pada masa pemerintahan SBY mengalami perkembangan yang sangat baik. Pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh pesat di tahun 2010 seiring pemulihan ekonomi dunia pasca krisis global yang terjadi sepanjang 2008 hingga 2009.Salah satu penyebab utama kesuksesan perekonomian Indonesia adalah efektifnya kebijakan pemerintah yang berfokus pada disiplin fiskal yang tinggi dan pengurangan utang Negara.Tingkat pertumbuhan ekonomi periode 2005-2007 yang dikelola pemerintahan SBY-JK relatif lebih baik dibanding pemerintahan selama era reformasi dan rata-rata pemerintahan Soeharto (1990-1997) yang pertumbuhan ekonominya sekitar 5%. Tetapi, dibanding kinerja Soeharto selama 32 tahun yang pertumbuhan ekonominya sekitar 7%, kinerja pertumbuhan ekonomi SBY-JK masih perlu peningkatan.



























Pemerintahan Reformasi Hingga Kabinet SBY (1999-2005)
      Awal pemerintahan reformasi yang dipimpin oleh Presiden Wahid, masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk insvestor asing menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan Gusdur untuk membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan yang ada di dalam negeri warisan rezim Orde Baru, seperti KKN, supremasi hukum, HAM, penembakan Tragedi Tri Sakti dan Semanggi I dan II, peranan ABRI di dalam politik, masalah distegrasi dan lainya.
      Bidang ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya, tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif, walaupun tidak jauh dari 0%, dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbahan hampir mencapai 5%. Akan tetapi, masyarakat memilih presiden tidak berlangsung lama. Gusdur mulai menunjukan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang kontroversial yang membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Gusdur cenderung bersikap diktaktor dan praktet KKN di lingkungannya semakin intensif, bukan hanya semakin berkurang yang merupakan salah satu tujuan dari pada gerakan reformasi. Ini berarti bahwa rezim Gusdur, walaupun Than reformasi di Era Demokrasi, tidak berbeda dengan rezim Orde Baru. Sikap Gusdur tersebut juga menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya adalah dikeluarkanya peringatan resmi kepada Gusdur lewat Memorandum I dan II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II Gusdur terancam diturunkan dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada bula Agustus 2001.
      Hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Gus Dur dengan IMF juga tidak baik, terutama masalah-masalah seperti Amandemen UU No 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia, penerapan otonomi daerah terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam uang dari luar negeri dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksananya. Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuanya kepada pemerintahan Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia dinyatakan bangkrut oleh Paris Club (Negara-negara donor), karena sudah kelihatan jelas bahwa Indonesia dengan kondisi perekonomian semakin buruk dan defisit keuangan pemerintah yang terus membengkak tidak mungkin mampu membayar kembali utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan Bank Dunia sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika kesempartan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Ketidakstabilan politik dan sosial yang tidak semakin surut selama pemerintahan Gusdur menaikkan tingkat country risk Indonesia. Hal ini ditambah lagi dengan buruknya hubungan antara pemerintah Indonesia dan IMF membuat pelaku-pelaku bisnis, termasuk Investor Asing menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada masa ini cenderung lebih buruk dari pada masa pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga Pemeringkat Internasional Moody’s Investor Service mengonfirmasikan bertambah buruknya resiko Negara Indonesia. Meskipun beberapa indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, tetapi karena kekhawatiran kondisi politik dan sosial lembaga rating lainnya, seperti Standard dan Poors, menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
            Banyak orang menduga bahwa ekonomi Indonesia tahun 2002 akan mengalami pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali negatif. Gusdur dan kabinetnya tidak menunjukkan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip ’’once and poor all’’. Pemerintah Gusdur cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dengan menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah Amandemen UU BI, masalah desentralisasi fiskal, masalah restrukturisasi utang, dan masalah divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya berbagai kebijakan pemerintah yang kontroversial dan inkonsisten, termasuk pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5% (nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah, menunjukkan tidak adanya ’sense of crisis’ terhadap kondisi riil perekonomian Negara saat ini.
            Fenomena semakin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif. Dengan perkataan lain, selama periode tersebut, IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan dari pada kegiatan pembelian di dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat pada umumnya terhadap prospek perekonomian Indonesia paling tidak untuk periode jangka pendek.
            Indikator kedua yang menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis (masyarakat pada umumnya) terhadap pemerintahan Gus Dur adalah pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Pada awal tahun 2000 kurs Rupiah sekitar 7000, dan pada tanggal 9 Maret 2001 tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan Rupiah, yang menembus level Rp 10000 per Dolar. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia secara agrresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta Dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada 12 Maret 2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden Gus Dur mundur, nilai tukar Rupiah semakin merosot. Pada bulan April 2001  sempat menyentuh Rp 12000 per Dolar AS. Inilah rekor kurs Rupiah terendah sejak Gus Dur terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik jauh lebih besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal. Pertama, perekonomian Indonesia masih tergantung pada impor, baik untuk barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang konsumsi. Kedua, ULN Indonesia dalam nilai Dolar AS, baik dari sector swasta maupun pemerintah, sangat besar. Indikator-indikator lainnya adalah angka inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit, dan cadangan devisa yang pada dua minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 miliar Dollar AS menjadi 28,875 Dolar AS.
            Setelah Gus Dur turun, Megawati menjadi Presiden Indonesia yang kelima. Pemerintahan Megawati mewarisi kondisi perekonomian Indonesia yang jauh lebih buruk daripada masa pemerintahan Gus Dur. Meskipun IHSG dan nilai Rupiah meningkat cukup signifikan sejak diangkatnya Megawati menjadi presiden melalui Sidang Istiimewa (SI) MPR, posisinya tetap belum kembali pada tingkat pada saat Gus Dur terpilih menjadi presiden.
            Keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Gus Dur terus terasa jika terlihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN. Suku bungan untuk sertifikat bank Indonesia(SBI), misalnya, pada awal pemerintahan Megawati mencapai di atas 17%, padahal saat awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 13%. Bersamaan dengan itu tingakt suku bunga deposito perbankan juga ikut naik menjadi sekitar 18%, sehingga pada saat itu menimbulkan kembali kekhawatiran masyarakat dan pelaku bisnis bahwa bank-bank akan kembali melakukan bleeding.
            Inflasi yang dihadapi kabinet gotong royong pimpinan Megawati juga sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Gus Dur hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati atau periode Januari-Juli 2002 tingkat inflasi sudah menjadi 7,7%. Bahkan laju inflasi tahunan atau year on year selama periode Juli 2000-Juli 2001 sudah mencapai 13, 5%. Perkembangan ini pada saat itu sangat mengkhawatirkan karena dalam asumsi APBN 2001 yang sudah direvisi pemerintah menargetkan inflasi dalam tahun 2001 hanya 9,4%.
            Era Megawati memiliki kinerja ekonomi Indonesia yang menunjukkan perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan pada table 5, pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3% dibandingkan 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode Megawati yang mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar  Dolar AS pada tahun 2001 menjadi 258 miliar Dolar AS tahun 2004. demikian juga pendapatan perkapita meningkat persentase yang cukup besar dari 697 Dolar AS ke 1.191 Dolar AS selama periode Megawati. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibandingkan -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yaitu saldo ekspor (X)-impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebagai persentase dari PDB, mengalami penurunan.
            Menginjak pada pemerintahan SBY, di bulan-bulan pertama pemerintahannya, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar, dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia, seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB, sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depan akan jauh lebih baik dibandingkan pada masa pemerintahan-pemerintahan sebelumnya sejak Soeharto lengser. Bahkan kabinet SBY dan lembaga-lembaga dunia tersebut menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2005 akan berkisar sedikit di atas 6%. Target ini dilandasi oleh asumsi bahwa kondisi politik di Indonesia akan terus membaik dan factor-faktor eksternal yang kondusif (tidak memperhitungkan akan adanya gejolak harga minyak di Pasar Dunia), termasuk pertumbuhan ekonomi dari motor-motor utama penggerak perekonomian dunia, seperti AS, Jepang, EU, dan China, akan meningkat. Namun pada pertengahan kedua tahun 2005 ekonomi Indonesia digoncang oleh dua peristiwa yang tidak terduga sama sekali, yaitu naiknya harga minyak mentah (BBM) di pasar internasional dan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dua hal ini membuat realisasi pertumbuhan PDB tahun 2005 lebih rendah dari target tersebut (table menjadi tantangan berat bagi presiden SBY karena jika tidak ditangani segera dan secaara baik, pengaruh negatifnya akan sangat besar terhadap perekonomian nasional dan akhirnya juga terhadap kehidupan masyarakat, khususnya kelompok miskin).
            Kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 Dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 Dolar per barrel awal Agustus 2005 sangat tidak menguntungkan Indonesia, tidak seperti pada masa oil boom pertama tahun 1973 dan kedua awal decade 1980-an. Walaupun Indonesia merupakan salah satu anggota OPEC, Indonesia juga impor BBM terbesar di Asia, jauh melebihi impor BBM Jepang yang bukan penghasil minyak. Tahun 2010 impor BBM Indonesia diprediksi akan mencapai sekitar 60% dan tahun 2015 akan menjadi sekitar 70% dari kebutuhan BBM dalam negeri (Kurtubi, 2005). Tingginya impor BBM Indonesia disebabkan oleh konsumen minyak dalam negeri yang meningkat pesat setiap tahunnya mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk, perkembangan kegiiatan ekonomi dan peningkatan pendapatan perkapita serta kapasitas kilang minyak di dalam negeri masih sangat terbatas. Menurut Kurtubi (2005), tahun 2005 kekurangan kapasitas kilang Indonesia sekitar 400.000 barrel per hari.[11]
            Kenaikan harga minyak ini menimbulkan tekanan yang sangaat berat terhadap keuangan pemerintah (APBN). Akibatnya pemerintah terpaksa mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat tidak populis, yaitu mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar dalam negeri meningkat tajam. Kenaikan harga BBM yang besar untuk industri terjadi sejak 1 Juli 2005. Harga solar untuk industri dari Rp 2200 per liter menjadi Rp 4750 per liter (naik 115%). Tanggal 1 Agustus 2005, kenaikan harga minyak tanah untuk industri dari Rp 2200 per liter menjadi Rp 5490 per liter (naik 93%). Tanggal 1 Oktober 2005, pemerintahn menaikkan lagi harga BBM yang berkisar antara 50% hingga 80%. Diperkirakan hal ini akan sangat berdampak negatif terhadap kegiatan ekonomi domestik, terutama pada periode jangka pendek karena biaya produksi meningkat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar